Renovasi Ka'bah dan Keputusan Bijak Rasulullah ﷺ dalam Peletakan Hajar Aswad
Pendahuluan
Ketika Rasulullah ﷺ berusia 35 tahun, lima tahun sebelum masa kenabian, kota Makkah dilanda banjir besar yang menyebabkan Ka'bah rusak parah. Bangunan suci ini telah berdiri sejak zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail 'alayhimassalām, dengan struktur sederhana dari batu-batu tanpa atap, sehingga mudah dimasuki pencuri. Dindingnya pun telah retak dan mulai rapuh.
1. Alasan Renovasi Ka'bah
Kaum Quraisy merasa ragu untuk merenovasi Ka'bah karena khawatir membawa murka Allah. Namun, setelah al-Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi memulai penghancuran sambil berdoa:
اللَّهُمَّ إِنَّا لَا نُرِيدُ إِلَّا الْخَيْرَ
“Ya Allah, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.”
dan terbukti ia tidak mengalami apa-apa, barulah masyarakat Quraisy berani melanjutkannya.
Kaum Quraisy sepakat bahwa bahan bangunan untuk merenovasi Ka'bah harus berasal dari sumber yang halal. Tidak boleh dari mahar pelacur, hasil riba, atau hasil kezaliman.
2. Proses Pembangunan dan Arsitek Ka'bah
Pembangunan Ka'bah dilaksanakan oleh setiap kabilah Quraisy secara bergilir. Mereka mengumpulkan batu terbaik, dan arsitek yang menangani pembangunan adalah seorang Romawi bernama Baqum. Ketika pembangunan sampai pada tahap peletakan Hajar Aswad, muncul perselisihan antar kabilah.
Setiap kabilah ingin mendapatkan kehormatan meletakkan Hajar Aswad. Perselisihan ini berlangsung selama 4–5 hari dan hampir menyebabkan pertumpahan darah di tanah suci.
3. Nabi Muhammad ﷺ Menjadi Penengah
Seorang tokoh Quraisy, ayah dari Umayyah bin al-Mughirah, mengusulkan agar keputusan diserahkan kepada orang pertama yang masuk dari pintu Ka'bah. Ternyata, orang itu adalah Nabi Muhammad ﷺ, yang dikenal sebagai al-Amīn (yang terpercaya).
Ketika mereka melihat Rasulullah ﷺ, mereka berkata:
هَذَا الْأَمِينُ، رَضِينَا بِهِ، هَذَا مُحَمَّدٌ
“Inilah orang yang terpercaya, kami ridha kepadanya. Ini adalah Muhammad!”
Lalu, Nabi ﷺ meminta selendang, meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, dan mempersilakan perwakilan setiap kabilah untuk memegang ujung-ujung selendang. Setelah batu terangkat ke tempat semula, Nabi ﷺ sendiri yang meletakkannya pada posisinya.
Hadis Terkait:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
"لَمَّا أَرَادَتْ قُرَيْشٌ بِنَاءَ الْكَعْبَةِ... اخْتَلَفُوا فِي الْحَجَرِ، فَجَعَلُوهُ فِي ثَوْبٍ، ثُمَّ دَعَوْا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعَهُ فِي مَكَانِهِ بِيَدِهِ."
— (HR. Ahmad dalam Musnad, no. 841)
Keputusan ini diterima oleh semua pihak dan menjadi solusi cerdas serta adil yang menunjukkan kebijaksanaan beliau sebelum diangkat menjadi Nabi.
4. Sisa Bangunan: Hijir Ismail
Karena dana halal mereka habis, kaum Quraisy menyisakan bagian utara Ka'bah sekitar 6 hasta. Bagian inilah yang sekarang dikenal sebagai Hijir Ismail atau Hathim. Mereka juga membuat pintu Ka'bah lebih tinggi dari tanah agar tidak semua orang bisa masuk, hanya yang memiliki otoritas.
5. Bentuk Ka'bah Setelah Renovasi
- Tinggi bangunan: ±15 meter
- Panjang sisi Hajar Aswad: 10 meter
- Tinggi Hajar Aswad dari tanah: ±1,5 meter
- Pintu Ka'bah: setinggi 2 meter dari permukaan tanah
- Di sekeliling bawah bangunan dipasang pagar kecil bernama asy-Syadzarawān setinggi 0,25 meter dan lebar 0,3 meter
Al-Qur’an Terkait Ka'bah:
“وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ ۖ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ”
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa): Wahai Tuhan kami! Terimalah dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui." — QS. Al-Baqarah: 127
Namun kemudian, pagar Syadzarawan ini ditinggalkan oleh orang-orang Quraisy pada masa berikutnya.
Kesimpulan
Renovasi Ka'bah ini bukan hanya menunjukkan pentingnya bangunan suci itu, tapi juga menunjukkan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad ﷺ bahkan sebelum menerima wahyu. Keputusan bijaknya dalam peletakan Hajar Aswad menjadi simbol perdamaian, keadilan, dan kecerdasan sosial. Ini juga menjadi pertanda bahwa beliau memang dipersiapkan oleh Allah ﷻ untuk menjadi pemimpin umat manusia.
Referensi
- Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyyah, Jilid 1
- Ibn Katsir, Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 3/180
- Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum
- Naskah ringkasan kitab klasik

Komentar
Posting Komentar
Kritik dan saran silahkan lampirkan komentar anda