Kelas 50 Siswa di Depok: Solusi Darurat atau Bom Waktu Pendidikan?
Mengupas Kontroversi Kebijakan Rombel 50 Gubernur Dedi Mulyadi
Pendahuluan
Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang memperbolehkan satu kelas menampung 50 siswa (disebut Rombongan Belajar/Rombel 50) di Depok dan wilayah Jabar lainnya, menuai pro-kontra kompleks. Berikut penjelasan mendetail berdasarkan fakta dari berbagai sumber:
⚖️ 1. Dasar Kebijakan dan Tujuan
Kebijakan : Diatur dalam Keputusan Gubernur Jabar No. 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) jenjang SMA/SMK. Kebijakan ini meningkatkan kapasitas kelas dari standar 36 menjadi maksimal 50 siswa per rombel .
-Tujuan Utama : Mengakomodasi 66.192 siswa putus sekolah dan 133.481 lulusan SMP tidak lanjut SMA di Jabar. Gubernur menilai kebijakan ini sebagai solusi darurat akibat kurangnya pembangunan ruang kelas baru oleh pemerintah sebelumnya .
- Implementasi di Depok : Contoh nyata terlihat di SMAN 6 Depok, kuota siswa naik dari 324 menjadi 450 siswa (9 rombel @50 siswa). Siswa PAPS diprioritaskan dari keluarga ekonomi lemah dan domisili dekat sekolah .
⚠️ 2. Dampak Negatif di Depok dan Sekitarnya
Walaupun kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ini menuai pro dari beberapa yang mendukung kebijakan tersebut, tapi di sisi lain kita juga harus meninjau dampak negatif dari kebijakan ini
a. Beban Infrastruktur Sekolah
- Kelas menjadi overcrowded, dengan rasio ruang tidak sesuai standar. Kondisi ini menciptakan lingkungan belajar tidak nyata: ventilasi buruk, fasilitas tidak memadai, dan risiko kekerasan meningkat .
- Guru kesulitan mengontrol kelas, suara tidak terdengar jelas, dan interaksi pembelajaran terbatas .
b. Ancaman terhadap Sekolah Swasta
- SMA Muhammadiyah 1 Depok hanya menerima 4 siswa baru (turun drastis dari rata-rata 20–30 siswa). Penurunan serupa terjadi di 95% sekolah swasta Jabar (3.858 sekolah), berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja guru dan penutupan massal sekolah .
- Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) Jabar menilai kebijakan ini diskriminatif dan tidak melibatkan mereka dalam perencanaan .
👥 3. Kritik dan Penolakan
a. Pelanggaran Regulasi
- Kebijakan bertentangan dengan Permendikbud No. 47/2023 yang membatasi maksimal 36 siswa per kelas. KPAI menegaskan aturan gubernur tak boleh bertentangan dengan peraturan pusat .
b. Solusi Tambal Sulam
- Pengamat pendidikan Ina Liem menyebut kebijakan ini "tambal sulam"karena dibuat mendadak tanpa kajian data, malah mengabaikan masalah mendasar seperti praktik jual-beli kursi sekolah, sebagaimana yang di kutip dari kabar kompas ketiaka menanyakan langsung kepada ina.
c. DPR RI dan Komisi X
- MY Esti Wijayati (Wakil Ketua Komisi X DPR RI) menekankan perlunya kebijakan berkeadilan bagi sekolah swasta dan kesiapan infrastruktur .
- Atalia Praratya(Anggota DPR RI) menilai 50 siswa per kelas tidak ideal bagi kualitas belajar .
📉 4. Akar Masalah yang Diabaikan
- Anomali Pendidikan Jabar :
-Jabar termasuk peringkat pertama nasional untuk 616.080 anak tidak sekolah.
- Tingkat kekerasan di sekolah (perundungan 29%, kekerasan seksual 38%) .
- Pembatasan Partisipasi : Kebijakan dibuat tanpa melibatkan pemangku kepentingan (sekolah swasta, akademisi, orang tua) .
🔍 5. Rekomendasi Solusi
- Revitalisasi Kolaborasi : Pemprov Jabar didesak melibatkan sekolah swasta dalam sistem PPDB dan memberi insentif seperti beasiswa atau bantuan operasional .
- Pembangunan Infrastruktur : Prioritas membangun ruang kelas baru dan optimalisasi anggaran pendidikan, bukan sekadar memadatkan siswa .
- Pendekatan Multisektor : Penanganan anak putus sekolah harus melibatkan Dinas Sosial, Kesehatan, dan Perlindungan Anak untuk mengatasi faktor ekonomi, psikologis, dan kultural.
💎 Kesimpulan
Kebijakan rombel 50 siswa di Depok dan Jabar adalah respons darurat atas kegagalan tata kelola pendidikan masa lalu. Namun, pendekatan ini berisiko memperparah disparitas kualitas belajar, meminggirkan sekolah swasta, dan mengabaikan akar masalah seperti infrastruktur serta partisipasi publik. Solusi berkelanjutan memerlukan kolaborasi multidimensi dan kepatuhan pada standar nasional pendidikan.
⚠️Disclaimer artikel ini hanya bersifat informatif bukan untuk diskriminatif, nah kalau begitu apa pendapat kalian tentang kebijakan ini dan jiga solusi lain untuk kedepannya?
Tulis di komentar ya.!!

Komentar
Posting Komentar
Kritik dan saran silahkan lampirkan komentar anda